Mitos Atau Fakta | Jadi Arsitek Harus Pintar Menggambar?

Mitos atau fakta bahwa untuk menjadi arsitek itu harus pintar menggambar?

Mitos-Atau-Fakta

Chapter 01 - Zaman Kuliah

Saya termasuk orang yang beruntung karena bisa kuliah, dan kebetulan jurusan yang saya ambil adalah Teknik Arsitektur. Sebelum saya keterima jadi mahasiswa dan mempelajari arsitektur, sebenarnya kemampuan menggambar saya biasa-biasa saja. Kalau saya ingat-ingat lagi, prestasi menggambar yang pernah saya capai jaman dulu waktu TK pernah menjadi wakil sekolahan saya untuk mengikuti lomba menggambar antar Taman Kanak-Kanak tingkat kabupaten. Waktu SD juga pernah menjadi wakil sekolah saya untuk lomba menggambar dalam kegiatan Pramuka. Alhamdulillah, dari kedua lomba TK dan SD tersebut saya tidak berhasil memenangkan juaranya. Pas ditanya sama Pak Guru, "Tidak apa-apa belum juara, nanti kalau rajin belajar menggambar pasti menang, kalau sudah besar cita-citanya mau jadi apa?".

"Arsitek" jawab saya singkat meski sebenarnya ngga tau arsitek itu kayak apa.

Saya cuma tahu dari Emak saya yang suka liatin ngegambar dan bilang kalau besar nanti kamu jadi Arsitek saja ya, duitnya banyak katanya.

Entah itu adalah sugesti atau doa yang Emak saya bilang waktu kecil, akhirnya saya kuliah juga di Jurusan Arsitektur.

Terlepas dari kesukaan saya menggambar, masuk kuliah di Jurusan Arsitektur itu tidak di test dulu apakah saya mahir menggambar atau tidak. Dan kemudian saya tahu setelah bersama teman-teman sekelas, saya menempatkan posisi bakat menggambar saya tidak pada yang paling atas, tapi juga ngga paling jelek. Tengah-tengah saja.

Dunia kuliah mengajarkan kami banyak teknik menggambar. Kami berangkat dari posisi start yang sama dan tiba di garis finish yang berbeda-beda waktunya. Artinya, semua orang mendapatkan kesempatan yang sama, yakni diajarkan cara dan melatih kemampuan menggambar yang bobotnya mungkin sekitar 70% dari keseluruhan bobot mata kuliah arsitektur.

Chapter 02 - Zaman Bekerja (setelah lulus kuliah)

Sebenarnya sebelum saya lulus, saya sudah bekerja di sebuah kantor konsultan arsitek milik kakak tingkat di Malang. Saya bekerja di tempat itu selama kurang lebih 2 tahun sampai pada akhirnya saya putuskan untuk pindah ke Jakarta karena alasan menambah pengalaman. Di Jakarta saya juga bekerja disebuah biro konsultan arsitek yang cukup terkenal di daerah Jakarta Selatan.

Menurut pengalaman saya selama bekerja di konsultan Arsitek, skill menggambar memang menjadi modal utama. Seorang principal architect akan menilai staff mereka berdasarkan karakter gaya desain masing-masing dan kemudian mengarahkannya agar satu arah dengan aliran besar perusahaan mereka.

Bekerja di konsultan arsitek, persentase waktu terbagi menjadi dua, salah satunya digunakan untuk belajar memperkaya khazanah style desain dari membaca banyak referensi, lalu yang kedua adalah self improvement dengan cara praktik menggambar.
Satu hal lagi, kemampuan 3D visual juga menjadi added value di kebanyakan biro konsultan. Tapi pengalaman saya waktu melamar di konsultan arsitek, saya tetap di test untuk kemampuan freehand drawing

Chapter 03 - Sampai batas mana seseorang bisa disebut sebagai arsitek?

Menurut saya, seorang bisa disebut sebagai arsitek apabila dia mengikuti secara menyeluruh proses perjalanan desain hasil karyanya dari tahap perancangan hingga pelaksanaan atau pembangunan dari desain tersebut. Oleh karena itu, segala masalah yang timbul pada saat pelaksanaan membutuhkan kehadiran sang mastermind untuk berusaha memberikan solusi terbaik supaya tidak melenceng dari konteks desain projectnya. Dan kebanyakan, arsitek yang berada di lapangan tidak memerlukan gambar di atas kertas yang bagus untuk menyelesaikan masalah. Yang diperlukan adalah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, menganalisanya, kemudian merekomendasikan solusi yang terbaik.
Kesimpulan berdasarkan narasi diatas, maka yang termasuk FAKTA adalah:
  • Profesi arsitek sebagai desainer mengharuskan kemampuan menggambar karena desainer berkomunikasi melalui media gambar. Dalam hal bekerja di sebuah konsultan arsitektur, seseorang harus memiliki kemampuan menggambar sebagai standard skill set yang ditetapkan oleh masing-masing perusahaan.
  • Profesi arsitek sebagai decision maker/principal mengharuskan kemampuan memecahkan masalah dengan tepat. Kemampuan mentransfer gagasannya dapat dituangkan dengan sketsa-sketsa informatif yang secara visual mungkin tidak bisa dibilang bagus/indah. Principal architect dapat mendelegasikan presentasi penyajian gambar yang lebih estetis kepada orang lain. 
Sedangkan yang bisa disebut sebagai MITOS, adalah:
  • Tuntutan untuk masuk jurusan Arsitektur harus punya bakat menggambar. Setiap orang berbeda dan bahkan tidak memiliki bakat menggambar, tapi jangan takut untuk kuliah di jurusan Teknik Arsitektur karena menggambar bukan penentu sukses atau tidaknya kalian.
  • Kalau ngga bisa menggambar tidak bisa lulus kuliah di Jurusan Arsitektur. Predikat arsitek tidak sama dengan tukang gambar. Kuliah tidak hanya mengajarkan soal teknis menggambar, tapi juga kemampuan analisis dan membangun cara berpikir ilmiah. Ada 1001 cara untuk berprestasi dalam bidang arsitektur daripada sibuk menangani kekurangan dalam segi menggambar. 
Bagaimana menurut kalian?

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Mitos Atau Fakta | Jadi Arsitek Harus Pintar Menggambar?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel